JAKARTA, TAGAR-NEWS.com – Jaksa Agung RI Burhanuddin dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Dr. Fadil Zumhana menghadiri Acara UNODC Side Event Pertemuan Sesi ke-31 Commission on Crime Prevention and Criminal Justice dengan tema “Penguatan Supremasi Hukum melalui Keadilan Restoratif” yang dihadiri baik secara langsung maupun zoom meeting oleh UNODC Indonesia Country Manager and Liaison to ASEAN Collie F. Brown, Chair of the European Forum for Restorative Justice Tim Chapman, dan Project Manager/Lead Researcher – Thailand Institute of Justice Ukrit Sornprohm. Rabu 18 Mei 2022 bertempat di Lantai 10 Gedung Menara Kartika,
Chair of the European Forum for Restorative Justice Tim Chapman menyampaikan perubahan cara pandang dalam penerapan hukum pidana bergeser dari keadilan retributif menjadi keadilan restoratif. Kejaksaan sebagai pengendali perkara menjadi pihak yang memiliki kewenangan menilai melanjutkan atau tidaknya sebuah perkara ke persidangan. Tetapi, mandat penerapan restorative justice seharusnya dituangkan dalam aturan setingkat UU.
“Pendekatan keadilan restoratif dalam penanganan perkara pidana menghindari kesalahan bagi pelaku di masa mendatang. Di banyak negara, praktik pendekatan keadilan restoratif yang tinggi diterapkan, khususnya di berbagai tahapan peradilan pidana,” ujar Chair of the European Forum for Restorative Justice.
Lanjutnya, meski demikian, para penegak hukum sebagai pihak yang melaksanakan keadilan restoratif perlu meningkatkan kualitasnya dan penerapannya perlu dipantau secara berkala dengan hal utama yakni mengedepankan pemulihan bagi korban.
Dia menyebut Project Manager/Lead Researcher – Thailand Institute of Justice Ukrit Sornprohm berpandangan restorative justice menjadi keadilan yang humanis dan harmonis, karena tidak hanya membantu mengenalkan proses yang inklusif, tetapi memitigasi masalah-masalah lainnya sejak disahkannya prinsip-prinsip PBB dalam penggunaan keadilan restoratif.
Ia menjelaskan bahwa di Thailand menerapkan prinsip keadilan restoratif dalam pencegahan terjadinya tindak pidana yang berulang. Menurutnya, keadilan restoratif dipraktikkan dalam merajut para pihak berkonflik sehingga praktik penerapan restorative justice memiliki akar yang kuat dengan memasukkan unsur keagamaan dan kebudayaan dalam mencapai resolusi.
“Saat ini kami punya banyak bentuk restorative justice formal dan informal sehingga dapat diaplikasikan dalam sistem peradilan pidana dengan mengalihkan penghukuman kepada mediasi. Meski demikian, restorative justice harus difasilitasi oleh pihak-pihak berwenang, termasuk perlu diaturnya dalam UU mengenai kemungkinan pihak berwenang mengedepankan upaya mediasi khususnya tindak pidana ringan,” ungkapnya
Menurutnya, ada beberapa tantangan dalam penerapan restorative justice, diantaranya perlu diurainya penyelesaian akar masalah dimana tidak hanya kedua belah pihak mencapai kesepakatan damai, sehingga memunculkan solusi berkelanjutan antara lain memasukkan nilai-nilai agama dalam keadilan restorative justice. Tantangan lainnya yaitu kurangnya kesadaran masyarakat mengenai keadilan restoratif sehingga perlu dibangun keterampilan teknis, serta sarana prasarana termasuk perangkat hukum dalam penerapan keadilan restoratif.
Sementara itu, JAM-Pidum Dr. Fadil Zumhana mengatakan setelah berlakunya Peraturan Jaksa Agung RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, banyak tindak pidana yang sifatnya ringan, dihentikan dan tidak dilanjutkan penuntutannya.
“Sampai dengan awal Mei 2022, Kejaksaan telah menghentikan sedikitnya 1.070 (seribu tujuh puluh) perkara, dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif. Banyak kisah inspiratif yang terjadi pada perkara yang dihentikan dengan pendekatan keadilan restoratif, dimana penghentian penuntutan tersebut telah memperkuat penerapan model keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana di Indonesia,” tutur JAM-Pidum.
Berdasarkan survei penelitian yang dilakukan oleh Komnas HAM sebesar 85,2% (delapan puluh lima koma dua persen) responden mendukung penerapan pendekatan keadilan restoratif untuk menghentikan perkara pidana yang tidak perlu serta kejahatan yang sifatnya ringan.
JAM-Pidum menjelaskan, mengingat kondisi penjara di Indonesia sudah terlalu padat, masyarakat menuntut reformasi serius dalam praktik penegakan hukum yang cenderung berfokus pada pembalasan dengan pemenjaraan, daripada memulihkan keadilan. Singkatnya, penting untuk menemukan solusi, mengurangi jumlah narapidana di lembaga pemasyarakatan. Penerapan praktik keadilan restoratif diharapkan membawa konsekuensi mengurangi napi di lembaga pemasyarakatan.
Harapannya adalah penerapan keadilan restoratif dapat membantu pemerintah mengurangi RESIDI – VISME, melestarikan nilai-nilai keadilan lokal dan mendorong REKONSILIASI antara korban, dan pelaku di masyarakat.***
Editor: Helmi