Oleh: Khalid Mustafa
(Ahli Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah)
JAKARTA, TAGAR-NEWS.com – “Cintailah Produk-Produk Indonesia.”
Kalimat ini merupakan sebuah kalimat yang sangat familiar di negara ini. Walaupun merupakan kata penutup dari iklan sebuah produk, namun hal ini menggambarkan semangat yang bergelora akhir-akhir ini.
Namun, “jargon” tersebut rupanya hanya sekedar menghiasi layar kaca maupun radio belaka. Kalimat itu tenggelam dalam banjirnya produk-produk impor yang mengisi seluruh kebutuhan sehari-hari bangsa ini, bahkan sampai ke makanan sehari-hari. Contohnya adalah Batik yang sudah dinyatakan oleh UNESCO sebagai produk asli Indonesia, namun di pasar tanah abang justru diisi oleh batik cap dari luar negeri yang menggerus batik cap dan tulis dari daerah. Juga tempe yang merupakan penganan bahkan lauk yang sangat digemari, bahan baku utamanya didatangkan dari Benua Amerika.
Hal ini menyebabkan produk dalam negeri memiliki nasib seperti kata pepatah “Ayam mati di lumbung padi,” sehingga hidup segan matipun tidak mau.
Kejadian ini justru diperparah dengan anggaran Pemerintah Pusat maupun Daerah yang sebenarnya diharapkan sebagai bahan bakar penggerak ekonomi negara, justru banyak digunakan untuk belanja produk-produk impor. Ini sama saja dengan menggerakkan ekonomi negara lain dan menjadikan negara kita hanya sebagai konsumen belaka.
Semangat pemberdayaan Produksi Dalam Negeri (PDN) dan Peran Serta Usaha Mikro dan Usaha Kecil (UMK) dalam pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP) sebenarnya sudah tertuang dalam Pasal 40 Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 80 Tahun 2003 tentang PBJP yang juga diteruskan pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 tentang PBJP dan Perubahannya yaitu dengan mewajibkan instansi pemerintah untuk memaksimalkan penggunaan barang/jasa hasil produksi dalam negeri, memaksimalkan penggunaan penyedia barang/jasa nasional, dan memaksimalkan penyediaan paket-paket pekerjaan untuk usaha kecil.
Namun semangat ini dibatasi hanya dengan kata “memaksimalkan,” tanpa suatu target tertentu sehingga tidak dapat diukur secara jelas. Juga dalam perjanjian diwajibkan untuk mencantumkan persyaratan penggunaan produksi dalam negeri sesuai dengan kemampuan industri nasional.
Kalimat “sesuai dengan kemampuan industri nasional” juga tidak memiliki parameter yang tegas, karena industri nasional sendiri memiliki kesulitan dalam melakukan produksi sesuai kebutuhan dalam negeri. Sulitnya perijinan, permodalan, bahan baku, distribusi, dan pemasaran menjadi alasan klasik dan berulang sehingga menyebabkan pengusaha lebih memilih mengimpor dibandingkan membangun industri dalam negeri.
Pemberdayaan PDN dalam PBJP mencapai momentum dengan dikeluarkannya Perpres Nomor 12 Tahun 2021 yang menegaskan bahwa Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah (K/L/PD) wajib menggunakan produk usaha kecil serta koperasi dari hasil produksi dalam negeri. Selain itu, sudah ada kewajiban alokasi anggaran sebesar 40% (Empat puluh persen) untuk PDN.
Namun, lagi-lagi hal ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya gerakan bersama dari semua K/L/PD, karena permasalahan PDN bukan sekedar permasalahan PBJ belaka, melainkan permasalahan lintas sektor, termasuk perijinan, keuangan, perindustrian, pengawasan, bahkan Aparat Penegak Hukum (APH).
Oleh sebab itu, terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan PDN dan Produk UMK dan Koperasi dalam rangka Menyukseskan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia pada Pelaksanaan PBJP merupakan suatu terobosan besar karena tidak hanya menginstruksikan kepada satu atau dua institusi saja melainkan kepada seluruh K/L/PD termasuk Lembaga non kementerian dan APH.
Seluruh sektor diperintahkan untuk berkontribusi untuk menghilangkan hambatan dalam peningkatan PDN serta percepatan peningkatan penggunaan PDN, mulai dari menghilangkan sumbatan regulasi dan kebijakan, memastikan realiasasi 40% nilai anggaran belanja untuk menggunakan produk UKM dari hasil PDN, membentuk tim Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (Tim P3DN), menyusun roadmap strategi peningkatan penggunaan PDN, mengurangi impor paling lambat pada tahun 2023 sampai dengan 5%, mempercepat penayangan PDN pada katalog sektoral/lokal, menghapus persyaratan yang menghambat PDN dalam PBJP, melakukan kolaborasi K/L/PD untuk memberdayakan UMK, serta melakukan integrasi data dan informasi mengenai PDN dan produk UMK.
Pelaksanaan instruksi ini tentu akan berpotensi bersinggungan dengan berbagai hukum yang berlaku dan bisa saja menyebabkan kekhawatiran dalam proses eksekusi. Sehubungan dengan hal tersebut, Inpres ini juga menginstruksikan kepada Jaksa Agung untuk melakukan pendampingan hukum pada K/L/PD dalam hal terdapat permasalahan dalam pelaksanaan penggunaan PDN dan memerintahkan Jaksa Pengacara Negara untuk melakukan langkah hukum yang diperlukan terhadap pelanggaran Pelaku Usaha atas ketentuan mengenai PDN.
Dari 2 poin instruksi ini terlihat bahwa yang menjadi prioritas pertama untuk dilaksanakan oleh Jaksa Agung adalah menghadirkan rasa aman kepada seluruh K/L/PD dengan cara menjadi pendamping apabila terdapat permasalahan dalam pelaksanaan penggunaan PDN.
Proses pendampingan ini sebaiknya dilakukan dengan mekanisme pencegahan (preventif) dan bukan menggunakan mekanisme penindakan (represif) agar Kejaksaan dapat menjadi pendamping dan pengayom dari K/L/PD untuk melaksanakan instruksi dari Presiden tersebut.
Kejaksaan memiliki organ yang cukup, baik dari segi organisasi melalui bidang Perdata dan Tata Usaha Negara maupun dari segi sebaran organisasi melalui Kejaksaan Tinggi hingga Kejaksaan Negeri yang tersebar dari Aceh hingga Papua.
Salah satu peran krusial yang dapat dilakukan oleh Kejaksaan adalah memetakan titik-titik rawan dalam pelaksanaan Inpres dalam lingkup PBJP, yang dimulai dari tahapan perencanaan pengadaan (Identifikasi kebutuhan, Penetapan barang/jasa, cara, jadwal, dan anggaran PBJ), persiapan pengadaan (penetapan HPS, Rancangan Kontrak, dan Spesifikasi Teknis/KAK), pelaksanaan pengadaan (pelaksanaan pemilihan dan pelaksanaan kontrak), dan serah terima hasil pekerjaan serta melakukan pendampingan dalam mencegah terjadinya permasalahan hukum dalam setiap tahapan tersebut khususnya dalam penggunaan PDN.
Peran krusial lain yang perlu dilaksanakan oleh Kejaksaan adalah melakukan legal audit terhadap Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh K/L/PD agar tercipta harmonisasi dan mencegah hambatan dalam pelaksanaan Inpres Nomor 2 Tahun 2022.
Peran lain dalam tahapan pencegahan adalah memberikan pendapat hukum kepada K/L/PD khususnya apabila memerlukan diskresi dalam pelaksanaan Inpres Nomor 2 Tahun 2022.
Peran paling akhir dari Kejaksaan merupakan peran yang bersifat represif dalam bentuk penegakan hukum apabila terdapat ketidakpatuhan terhadap Peraturan perundang-undangan. Namun peran ini sebaiknya tetap didasarkan pada hasil pendalaman terhadap penyebab dari ketidakpatuhan yang terjadi serta menerapkan sanksi yang tepat untuk setiap ketidakpatuhan.
Pada akhirnya, Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia hanya dapat terwujud melalui sinergi seluruh K/L/PD serta Masyarakat Indonesia berdasarkan simfoni yang padu berlandaskan niat luhur untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera.
***