JAKARTA, TAGAR-NEWS.com – Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Ketut Sumedana mengatakan persoalan tanah ini adalah merupakan persoalan yang multiefek yang diawali dengan fungsi sosial kemudian bergeser karena kebutuhan tanah semakin meningkat dan ketersediaan tanah yang terbatas, bergeser menjadi fungsi ekonomis. Selanjutnya, fungsi tersebut bergeser menjadi suatu permasalahan hukum.
“Permasalahan hukum di bidang pertanahan bukan hanya terkait dengan tindak pidana, tetapi juga kebijakan tata usaha negara dan terkait pula dengan gugatan keperdataan, yaitu waris, jual/beli, hibah dan sebagainya,” katanya pada diskusi Publik, Indonesian Consumer Club (ICC) dengan tema “Mafia Tanah Membuat Konsumen Sengsara” yang diselenggarakan oleh Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia secara virtual, Senin 15 Agustus 2022.
Mengenai mafia tanah, Sumedana menuturkan Jaksa Agung beberapa kali telah menginstruksikan untuk membentuk tim pemberantasan mafia tanah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, dan Jaksa Agung juga sudah menguraikan modus-modus yang dominan terjadi tentang tindak pidana yang dilakukan oleh mafia tanah.
Pertama, pelaku usaha ataupun pemodal sering sekali memanfaatkan aparatur dari kepala desa sampai tingkat pusat bahkan juga pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam rangka melakukan segala upaya mengubah status kepemilikan tanah.
Kedua, merekayasa proses persidangan. Pelaku ini sering sekali membuat suatu gugatan yang imajiner atau gugatan palsu, yang pada akhirnya nanti hasil gugatan tersebut digunakan untuk mengganti sertifikat lama menjadi sertifikat baru.
Ketiga, penguasaan tanah secara ilegal yang seolah-olah itu legal, dimaksudkan bahwa bukan saja okupasi terhadap tanah negara oleh masyarakat tetapi penguasaan tanah masyarakat oleh negara juga kerap sekali terjadi terutama terkait dengan proyek-proyek strategis nasional seperti pembuatan jalan tol, pembuatan bendungan, dan lain sebagainya, sehingga sering sekali menimbulkan permasalahan baru.
Keempat, pelaku sering sekali memanfaatkan proyek-proyek strategis nasional, contohnya pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), pembuatan rel kereta api, pembangunan objek vital pariwisata, dan pembangunan bandara, dimana sering sekali di sekitar pembangunan tersebut, investor banyak menggunakan orang-orang tertentu untuk mengelabui masyarakat dalam hal penguasaan tanah.
“Dampak dari kegiatan tersebut sering menimbulkan ketidakpastian terhadap kepemilikan. Orang yang mau berinvestasi di suatu daerah menjadi enggan karena takut tanahnya ketika dibeli secara legal menjadi tidak pasti/tidak sah atau tidak mendapat sertifikat, dan berpotensi mendapat gugatan-gugatan baru,” ungkap Sumedana
“Hal-hal seperti inilah yang menyebabkan investor tidak berani masuk dalam suatu daerah atau suatu negara termasuk investor asing dan akibatnya perekonomian negara menjadi tersendat, sirkulasi program tersebut jadi tidak jalan karena investor tidak berani menanamkan modalnya, dan perekonomian negara tidak jalan dan yang menjadi rugi adalah masyarakat,” ujarnya melanjutkan..
Sumedana melanjutkan, Kejaksaan berperan dalam hal program nasional Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), antara lain pertama, melakukan verifikasi legalitas surat-surat yang diajukan oleh masyarakat; kedua, selain verifikasi, Kejaksaan juga mendampingi sampai proyek tersebut betul-betul berhasil sesuai dengan tujuan pemerintah dan masyarakat; ketiga, meyakini bahwa apa yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah itu betul-betul bermanfaat dalam rangka mewujudkan kepastian hukum bagi kepemilikan tanah di masyarakat.
Kemudian dari sisi pencegahan, Kapuspenkum Kejaksaan Agung mengatakan hal yang paling terpenting adalah persoalan tanah tidak semua harus dibawa ke pengadilan, maka perlu untuk membentuk rumah-rumah mediasi di setiap desa sehingga ketika ada persoalan tanah di masyarakat, dapat langsung ditangani secara cepat, tepat, dengan menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat (local genus).
“Rumah mediasi diharapkan dapat menjadi jawaban dan memberikan solusi bagi masyarakat dalam menyelesaikan persoalan pertanahan di desa dengan melibatkan tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, aparatur desa, dan penegak hukum sebagai pembina yang memberikan masukan-masukan terhadap persoalan tersebut,” sebut Sumedana.
Rumah mediasi ini menjadi garda terdepan dalam penyelesaian perkara-perkara yang terkait dengan pertanahan di desa, sehingga tidak perlu lagi semua persoalan digugat ke perdata dan rasa keadilan dapat dirasakan oleh masyarakat. Adapun tujuan dari rumah mediasi ini yaitu;
- Tidak menimbulkan resistensi di masyarakat;
- Menjaga keharmonisan di masyarakat;
- Membangun kedamaian dan persatuan;
- Mewujudkan suatu kesadaran hukum di masyarakat.
Ketika masyarakat sudah sadar akan hukum, maka penegak hukum tidak perlu lagi turun ke lapangan, tidak perlu lagi ada dalam proses persidangan, tidak perlu lagi ada gugatan-gugatan yang terkait dengan bidang pertanahan.
“Upaya penindakan terkait dengan mafia pertanahan dengan membentuk Satuan Tugas (Satgas) mafia tanah yang melibatkan semua unsur/stakeholder yang terkait yaitu BPN, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, perkebunan, penegak hukum seperti Kejaksaan RI dan Kepolisian RI. Bila perlu melakukan penindakan untuk menimbulkan efek jera dengan tindakan yang cepat, tepat dan tidak merugikan masyarakat luas,” tegasnya
Terkait dengan sistem pembenahan dalam tata kelola administrasi pertanahan, Kapuspenkum Kejaksaan Agung menyampaikan bahwa hal yang terpenting adalah menggunakan sistem pertanahan dengan digitalisasi dan Indonesia harus memiliki aplikasi “Digital Land” seperti Google Maps.
“Digital Land menyediakan fitur untuk menampilkan area tanah dengan menyediakan informasi terkait pemilik tanah tersebut seperti detail fitur yang menyediakan lokasi tanah dengan titik koordinat yang lengkap. Fitur tersebut perlu diterapkan segera untuk memperkecil pelanggaran di bidang administratif pertanahan, pelanggaran di bidang batas kepemilikan pertanahan, pelanggaran di bidang penerimaan keuangan Negara (pajak) termasuk pelanggaran dalam peralihan hak-hak atas tanah sehingga sistem administrasi pertanahan dapat terintegrasi dengan baik, tidak ada lagi ketimpangan, ketidakakuratan, ketidakvalidasian administrasi pertanahan di Indonesia,” ujar Sumedana menambahkan.
(*/Hel)